Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (nama
lahir Raden Mas Said, lahir di Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di
Surakarta, 23 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja
Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di Jawa bagian tengah selatan, dan
Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara dari
Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh,
perwakilan VOC[butuh rujukan], karena di dalam peperangan R.M. Said selalu
membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Keraton Mangkunegara |
Riwayat
R.M. Said lahir di Kartasura dengan ayah
K.P.A. Mangkunegara, putra tertua Sunan Amangkurat IV (Pakubuwana I), penguasa
Kesunanan Mataram-Kartasura. Dengan demikian, ia memiliki hak kedua setelah
ayahnya sebagai pewaris takhta. Namun demikian, KPA. Mangkunegara secara
politik terang-terangan anti-VOC, sikap yang sama dengan adiknya, KPA
Mangkubumi, dan BRM. Said sendiri. Sikap politik ini membuat KPA Mangkunegara
dibuang ke Sailan (Srilanka) oleh VOC, setelah intrik di antara keluarga
sendiri.
Perjuangan R.M. Said dimulai bersamaan dengan
pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh
Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok
benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram
ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia
bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan
martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas
oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini
berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian
mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda.
Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai
meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang,
sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC.
Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot
Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi
justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya
dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di
Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura,
enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya
rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja
meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara
mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur
harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib
mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau
“Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan
Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta,
Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden
Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran
Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara
diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang
Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Arya
Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I)
yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena
itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda
secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di
pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui
Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram.
Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan
Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini
terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat
sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden
Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara
penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang
ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak
mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia
antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski
demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui
Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan
Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham, pangkal konflik
bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada
Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan
sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir
1749.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan
kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar
Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama
sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada
13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram
menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat
ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin
pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P.
Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan
dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun
waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said
memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati
kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu,
sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode
1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang
militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh
musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi
perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak
kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika
itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya
terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung
dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah
pedalaman.
Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan
pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya
kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal
16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan
benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan
Ponorogo.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan
dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di
sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim
pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro.
Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang
berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu
kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3
prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit
tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan
Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura,
tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas
kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah
satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Perjanjian
Salatiga
Tak seorang pun yang berhasil menjamah
Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di
Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja
perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara
sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan
syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton
Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan
logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah
perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian
Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri.
Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di
Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan
Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi
utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat
sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan
hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan
yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari
Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja
kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja
di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun
memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan
Raja II Sultan.
Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih,
Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya,
Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683
(Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai
Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama
melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya,
ia menerapkan prinsip Tridarma.
Pasukan
Wanita Laskar Mangkunegara
Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah
wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan
ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan
berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan
wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan
dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama
16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan
menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat
kejadian di peperangan.
Tarian
Ciptaan Mangkunegoro
Tarian sakral yang telah diciptakan oleh
RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu :
- Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo.
- Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak.
- Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.
Gelar
Pahlawan Nasional
Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara
I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat
penghargaan Bintang Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung,
Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia
bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795
Putra
Mahkota
Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar
"Mangkunegara" dimulai oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro
kemudian menjadi RM. |Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng
Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 'Kartasura".
Ketika putra mahkota sudah menjadi raja
Mataram, nama dan gelar seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara
dikenakan pada putra sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang
ke Ceylon ini adalah putra mahkota kerajaan Mataram.
Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota
dilakukan oleh kelompok RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan
Pangeran Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti
menjadi "Anom" yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser
kedudukan putra mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu
keprajuritan menjadi non keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara
pun diubah menjadi Hamengkunegara.
No comments:
Post a Comment