Wednesday, 4 April 2018

Mangkunegara II (1796-1835)


Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II (disingkat K.G.P.A.A. Mangkunegara II atau MN II) adalah raja yang kedua dari Kadipaten Praja Mangkunegaran. Nama lahirnya ialah Bandara Raden Mas (B.R.M.) Sulama, sedangkan gelar-gelar lainnya adalah "Pangeran Surya Mataram", "Pangeran Surya Mangkubumi", dan "Pangeran Adipati Prangwadana". Ia adalah cucu sekaligus penerus tahta pendahulunya, Mangkunegara I dari isteri Mas Ayu Kusumapatahati (R.Ay. Mangkunagara Sepuh). Ayahnya ialah Pangeran Arya Prabumijaya I, putra dari Mangkunegara I yang meninggal sebelum MN I turun tahta, sedangkan ibunya ialah Kanjeng Ratu Alit, putri Paku Buwono III.
Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung selama kurang-lebih 40 tahun (1796-1835) dan terlibat dalam persaingan politik penting. Pasukan Mangkunegaran di bawah perintahnya terlibat dalam Perang Srondol membantu pasukan gabungan Prancis-Belanda melawan Inggris untuk menguasai Nusantara, penyerangan Inggris ke Yogyakarta tahun 1812, serta Perang Jawa membantu Kesultanan Yogyakarta melawan pasukan Diponegoro (1825 - 1830).


Asal usul
                               
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II berasal dari keluarga Pangeran Arya Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit. Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja di Negeri Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795. Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Kakeknya merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya. Dalam masa pemerintahannya, MN II disibukan oleh beberapa peperangan dan perluasan wilayah sehingga dapat dikatakan tidak menghasilkan karya seni di bidang seni tari.
Pada masa muda dalam asuhan kakeknya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I persiapan untuk menjadi pengganti kakeknya telah dialihkan dari ayahnya Pangeran Arya Prabuwijaya kepada dirinya dalam suasana situasi antar kekuasaan di Jawa sedang dalam ketidak ramahan.penentuan tapal batas wilayaj kekuasaan dengan tetangga tidak jarang menimbulkan ketegangan ketegangan baru yang berujung pada perang terbuka.Mulai dari pengalaman pengalaman masa mudanya dalam asuhan langsung kakeknya ini, Mangkunegara II selanjutnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang dalam kepemimpinannya mengikuti jejak kakeknya yang legendaris Pangeran Sambernyawa.
Rivalitas antar kekuasaan yang sering dikipas kipas oleh Belanda demi mempertahankan neraca keseimbangan perpolitikan antar kerajaan pada masa masa sebelum pembubaran VOC sering dipertahankan karena Belanda sedang menyadari bahwa kekuatan pemaksa militernya adalah lemah.
Belanda yang dalam kondisi lemah militer tidak jarang terjebak dalam situasi rumit dengan pematangan intrik dan desas desus yang memanaskan situasi sehingga dalam keadaan semacam ini adalah merupakan suatu keadaan super ideal bagi Mangkunegara untuk bermain di air yang keruh.

Pangeran Adipati Prangwadana


Sebelum menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (II), RM Sulomo adalah Pangeran Prangwadana yang menjabat sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel. Sistem asing disini telah menggantikan sistem kepangkatan yang telah lama dipergunakan oleh para militer di Jawa.
Pada zaman Daendels sebelum Raffles kedudukan Mangkunegara sebagai Pangeran Miji ditingkatkan menjadi Pangeran pinisepuh/yang dituakan. Mangkunegaran menjadi satu-satunya Kraton di jawa yang tidak dilucuti kekuatan militernya.

Pemerintahan


Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Arya Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku Buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku Buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.
Nama Pangeran Surya Mataram sempat membuat panik Belanda disebabkan nama itu memuat unsur keagungan yang dapat memancing kekeruhan stabilitas tiga kerajaan; Kasultanan-Kasunanan-Mangkunegaran.Pergantian nama dan gelar Pangeran Surya Mataram menjadi Pangeran Surya Mangkubumi membuat peralihan dari kepanikan Belanda menjadi mengundang kemarahan Sultan Hamengku Buwono I. Belanda perlu khawatir karena nama Pangeran Surya Mataram belum pernah ada waktu itu dan terasa betul unsur unsur keagungan nya yang bakal mengundang rasa curiga bagi pihak Keraton/Kerajaan yang lain.Rasa curiga bagi pihak lain mengundang ancaman perselisihan dan perang terbuka yang akan menyeret kembali Belanda kedalam peperangan.Belanda tidak ingin mengulang kembali keterlibatannya dalam perselisihan dan perang yang berlarut larut.Sultan Hamengku Buwono I mengajukan protes lewat patihnya karena nama Mangkubumi adalah nama untuk dirinya sebagai anggota tertua yang masih hidup dalam dinasti Mataram.
Pada masa Mangkunegara I penggunaan nama selalu mengundang faktor kecurigaan dan sensitif yang tinggi karena nama memuat sejumlah harapan dan cita cita yang dapat menjadi claim bagi hegemoni dan pelebaran kekuasaan.Pemerintahan Mangkunegara II sarat dengan percaturan kekuasaan dan Mangkunegaran cenderung aktif dan ekspansif keluar Istana.Pemerintahannya yang berakhir sampai 1835 mengindikasikan bahwa Mangkunegara II terampil dan lihay dalam memainkan peran Kerajaan berhadapan dengan kekuasaan Kolonial dan Kekuasaan dua Kerajaan yang lain di Jawa ini. Mangkunegaran telah berhasil membaca tanda tanda zaman.Tiga Serangkai Penguasa kelajutan Dinasti Mataram teruji oleh zaman dalam mempertahankan dan mengembangkan eksistensi Kerajaannya.

Perluasan wilayah kerajaan


Dalam pemerintahan Mangkunegara II, daerah Mangkunegaran mengalami perluasan wilayah. Penambahan pertama terjadi pada tahun 1813 semasa Raffles menjabat Letnan Gubernur Jawa, yaitu sebanyak 240 jung atau 1.000 karya, sehingga luas wilayah menjadi menjadi 5.000 karya atau 3.500 hektare. Penambahan ini sebagai balasan atas dukungan Mangkunegara II saat Inggris memerangi Sultan Sepuh dari Yogyakarta dan Pakubuwana IV dari Surakarta. Wilayah tambahan tersebut yaitu di Keduwang (72 jung), Sembuyan (12 jung), Sukawati bagian timur (95,5 jung), Sukawati bagian barat (18,5 jung), serta lereng bagian timur Gunung Merapi (29,5 jung).
Penambahan kedua terjadi pada tahun 1830 sebanyak 120 jung atau 500 karya di Sukawati bagian utara, sehingga luas keseluruhan daerah Mangkunegaran menjadi 5.500 karya atau 3.850 hektare. Penambahan semasa Gubernur Jenderal Van den Bosch ini sebagai balasan atas dukungan Mangkunegara II saat Belanda memerangi Diponegoro. 

Komandan Legiun Mangkunegaran


Mangkunegara II adalah komandan dan penguasa pertama Mangkunegaran dalam sejarah Legiun Mangkunegaran. Kolonel adalah pangkat tertinggi di Korps militer bergengsi keprajuritan Mangkunegaran.
Sebelum menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara (II), RM Sulomo adalah Pangeran Prangwedana yang menjabat sebagai komandan Legiun Pasukan Mangkunegaran dengan pangkat Kolonel. Sistem asing disini telah menggantikan sistem kepangkatan yang telah lama dipergunakan oleh para militer di Jawa.Secara historis keberadaan Legiun Mangkunegaran dengan Komandannya merupakan warisan dan kelanjutan dari kakeknya dan formasi pasukan-pasukan pilihan sebelumnya. Kakeknya dalam kepangkatan militer bisa meraih jenjang Jenderal sedangkan Mangkunegara II dan para penggantinya hanya mencapai jenjang Kolonel.

Konflik di Yogyakarta

Situasi Kekuasaan Jawa Permulaan Tahun 1800 M

Pemerintahan Mangkunegara II mengalami kesuksesan dalam meredam konflik di Yogyakarta serta membentuk pemerintahan baru di Yogyakarta yakni Kadipaten Paku Alaman dengan wilayah yang diambil dari Kasultanan. Sebagai Adipati yang pertama di Kadipaten yang baru ini Pangeran Natakusuma diangkat sebagai Paku Alam I dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya. Tanggal 13 Maret 1813 merupakan awal dan hari jadi Kadipaten.
Pada masa Mangkunegara II, di Yogyakarta yang bertahta adalah Hamengku Buwono II. Sultan Yogyakarta ke dua ini dalam pemerintahannya mengalami intrik dan rongrongan kekuasaan dari kerabat dan saudaranya sehingga jalannya pemerintahan Kasultanan mengalami pasang surut dan penuh dengan ketegangan dan muatan konflik yang berakibat melemahnya pemerintahan. Yogyakarta kurang siap dalam membaca perubahan abad yang menyangkut kekuatan asing/Eropa di Pulau Jawa yang berbeda dengan VOC-Belanda. Terhadap penguasa penguasa Jawa penampilan Belanda mampu memainkan peran sebagai kekuatan taklukan yang berkuasa. Belanda melayani penguasa penguasa Jawa sebagai suatu strategi tujuan untuk mendapatkan yang diinginkan.
Tahun 1807 Daendels datang ke Jawa dan membenahi admnistratif Jawa dan Nusantara dengan aturan aturan baru semacam protokoler kepada penguasa penguasa setempat termasuk para raja di Jawa. Paku Buwono IV dari Surakarta yang tadinya menolak cepat membaca situasi dan menerimanya.Mangkunegaran yang terampil dan cepat membaca perubahan zaman dengan segera merespon dan menjalin kemitraan dengan pembentukan Angkatan Bersenjata Kerajaan. Yogyakarta agak terlambat dalam membaca perubahan sehingga menerima risiko kemerosotan Kerajaan.

Kekuatan Eropa di Jawa

Berbeda dengan Belanda, kekuatan Eropa yang datang pada tahun 1800-an itu memiliki militer sebagai kekuatan pemaksa terhadap pembangkangan.Sama sama dari Eropa, kekuatan Eropa yang datang adalah kekuatan Revolusioner yang selalu siap berlaga-tempur.Di Kraton Yogyakarta situasinya terpecah pecah dalam kelompok kekuatan yang saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya.Ada kelompok Natakusuma dengan anaknya Natadiningrat di samping juga kelompok Putra Mahkota (calon Hamengku Buwono III) dengan Kapiten Cina wilayah Yogyakarta yakni Tan Jiem Sing (kelak bergelar Tumenggung Secadiningrat). Satu lagi adalah kelompok Patih Danurejo yang karena jabatannya merupakan kompromi antara Sultan dengan Gubernur Belanda maka mengharuskan seorang patih melayani dua kepentingan penguasa; yaitu Kasultanan dan Gubernur Belanda.
Konflik antar kelompok itu mengundang pemerintah di Batavia turun ke daerah dengan bala tentara nya.

Intervensi Eropa di Jawa

Dalam dua periode Gubernur Jenderal (Daendels dan Raffles), Yogyakarta ditekan dengan kekuatan militer untuk memaksa Hamengku Buwono II turun tahta. Di bulan Desember tahun 1810 Daendels dengan pasukan 4.200 tentara menyerbu Yogyakarta. Daendels menurunkan Hamengku Buwono II kemudian mengangkat putera Mahkota Yogyakarta sebagai Hamengku Buwono III dan kembali ke Batavia dengan membawa Pangeran Natakusuma sebagai tawanan. Pada bulan Juli 1812, Raffles dengan 2.000 tentara menyerbu Yogyakarta.Dalam waktu yang bersamaan Tentara Gurkha-Sepehi yang datang ke Jawa bersama Inggris terlibat rencana pemberontakan terhadap kekuasaan Inggris karena beredar desas desus bahwa mereka akan dijual ke Belanda dan ditinggalkan Inggris sehingga untuk memperbesar jumlah pasukan menekan Yogyakarta maka Raffles mengkontak Pangeran Prangwadana dari Mangkunegaran untuk mengerahkan Legiun Mangkunegaran mendukung pasukan Natakusuma.
Kekuatan Eropa yang datang ke Jawa adalah kekuatan yang memiliki kemampuan untuk memaksa karena dilengkapi dengan pasukan tempur yang sangat memadai.Terhadap yang mementang maka kekuatan ini tidak segan-segan untuk bertindak keras bahkan kalau perlu membubarkan kekuasaan dan penguasa tradisional di Jawa. Korban pertama dengan datangnya Daendels ke Jawa adalah Banten. Oleh Daendels Kasultanan Banten dibubarkan.

Destabilisasi Kraton Yogyakarta

Pada masa Raffles memerintah Jawa menggantikan Jansens, Kasultanan Yogyakarta terancam dibubarkan.Campur tangan Mangkunegaran dengan Legiun Mangkunegaran berhasil mencegah pembubaran Kasultanan dengan penyelesaian berdirinya Kadipaten Paku Alaman. Solusi berdirinya Kadipaten di Yogyakarta ini adalah kompromi untuk mencegah munculnya satu kerajaan dengan dua penguasa.
Kompromi adalah solusi yang tepat karena tidak ada ketepatan untuk menyingkirkan Hamengku Buwono III dan menggantinya dengan Pangeran Natakusuma dan juga tidak ada ketepatan mempertahankan Hamengku Buwono III dengan menyingkirkan Pangeran Natakusuma. Contoh dari masa lalu yang berhasil untuk meredakan konflik yang berlarut adalah pembagian kekuasaan. 17 Maret 1813 Yogyakarta dibelah menjadi dua kekuasaan. Bersamaan dengan pembelahan itu (masih zaman Raffles Mangkunegaran mendapat tambahan wilayah masuk dalam kekuasaannya.

Kompromi Kekuasaan di Yogyakarta

Konflik kekuasaan di Yogyakarta berakhir dengan dilantiknya Pangeran Natakusuma sebagai Paku Alam yang dihadiri oleh Mangkunegara II yang dalam pelantikan mewakili Surakarta. Peran Paku Alaman dalam peta konflik di Yogyakarta menemukan bentuk baru dalam kedudukannya sebagai Pangeran merdeka. Purna sudah pembagian Mataram kedalam dua keraton dan dua kadipaten.

Menyikapi Perang Jawa 1825-1830


Dalam tahun 1825 sampai tahun 1830 di Jawa dilanda perang yang menghadapkan Belanda pada Pasukan Pasukan Dipanegara. Dalam perang ini Mangkunegara II mengambil sikap netral dan berjaga jaga diperbatasan wilayah Kasultanan dan Mangkunegaran.Sikap berjaga jaga ini sebagai upaya untuk membendung Perang Dipanegara tidak menjalar ke wilayah Mangkunegaran serta menutup kemungkinan kemungkinan para pelarian perang memasuki wilayah praja sehingga menyeretnya masuk dalam kancah perang.
Mangkunegara II baru terlibat dalam perang jawa ini ketika Sultan Hamengkubuwana V terjebak dalam kepungan pasukan Dipanegara dan Mangkunegaran dimintai bantuan untuk mengusir pasukan pasukan pengepung. Kasultanan Yogyakarta yang dalam perang Jawa terdesak oleh pasukan pasukan Dipanegara dengan Sultan Hamengkubuwana V terkepung, meminta bantuan pasukan yang disampaikan melalui Belanda untuk membantu menghalau pasukan pasukan Pangeran Dipanegara.
Mangkunegaran sebagai Kadipaten sosok pemimpinnya disebut sebagai Adipati yaitu Raja muda karena asal muasal Mendirikan Mangkunegaran adalah untuk membangkitkan kembali Sosok Putra Mahkota Mataram yang tergusur yaitu Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Kartasura.Nama dari Mangkunegara yang tergusur di kartasura adalah orang tua dari pendiri Mangkunegaran yang terkenal dengan nama Pangeran Sambernyawa.
Di bawah pemerintahan Mangkunegara II Kekuatan milter atau Legiun Mangkunegaran akhirnya tidak bisa bersikap netral kembali sehubungan dengan keselamatan Sultan Hamengkubuwana V berada dalam posisi terkepung oleh Pasukan lawan.Kolonel Wiranegara komandan pasukan Kasultanan mengajukan bantuan pasukan untuk menerobos kepungan kepada pemerintah Hindia Belanda yang selanjutnya menyampaikan kepada pihak Mangkunegaran untuk memenuhinya.
Sultan Hamengkubuwana V dengan dibantu oleh pasukan dari Kasultanan, Kasunanan, Paku Alaman dan Mangkunegaran akhirnya dapat diselamatkan dari kepungan dan penangkapan.

Konfigurasi Kekuasaan Setelah Perang Jawa


Bertambahnya satu pusat kekuasaan di Paku Alaman menambah peta Politik tradisional di jawa bahwa Mataram yang terbagi dalam dinasti tetap membawa corak asli yang dipadu dengan "yang baru". Mangkunegaran sebagai satu dari kekuatan tradisional mengambil langkah dan membawa corak yang memberikan nuansa baru bagi pergantian suatu tahta. Paska perang Jawa Mangkunegara II masih memegang tampuk pemerintahan sampai wafatnya 1935.Selanjutnya Mangkunegara II dimakamkan di Astana Mangadeg di wilayah Matesih Karang Anyar satu komplek dengan kakeknya Pangeran Sambernyawa.

Raden Mas Said (Alap - Alap Samber Nyawa 1725-1795)


 

Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (nama lahir Raden Mas Said, lahir di Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 23 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di Jawa bagian tengah selatan, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara dari Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC[butuh rujukan], karena di dalam peperangan R.M. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.

Keraton Mangkunegara

Riwayat


R.M. Said lahir di Kartasura dengan ayah K.P.A. Mangkunegara, putra tertua Sunan Amangkurat IV (Pakubuwana I), penguasa Kesunanan Mataram-Kartasura. Dengan demikian, ia memiliki hak kedua setelah ayahnya sebagai pewaris takhta. Namun demikian, KPA. Mangkunegara secara politik terang-terangan anti-VOC, sikap yang sama dengan adiknya, KPA Mangkubumi, dan BRM. Said sendiri. Sikap politik ini membuat KPA Mangkunegara dibuang ke Sailan (Srilanka) oleh VOC, setelah intrik di antara keluarga sendiri.


 Perjuangan R.M. Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.

Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749.

RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.

Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.

Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.

Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.

Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.

Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.

Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.


Perjanjian Salatiga
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.

Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.

Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara

Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan ringan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

Tarian Ciptaan Mangkunegoro

Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu :
  1.  Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo.
  2. Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak.
  3. Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Gelar Pahlawan Nasional

Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795

Putra Mahkota

Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar "Mangkunegara" dimulai oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro kemudian menjadi RM. |Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 'Kartasura".

Ketika putra mahkota sudah menjadi raja Mataram, nama dan gelar seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara dikenakan pada putra sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang ke Ceylon ini adalah putra mahkota kerajaan Mataram.

Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota dilakukan oleh kelompok RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan Pangeran Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti menjadi "Anom" yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser kedudukan putra mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu keprajuritan menjadi non keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara pun diubah menjadi Hamengkunegara.